Rosa Santana


Ini bukan apa-apa,

hanya cerita tentang salah satu mahluk hidup..

Yang terbentuk oleh,

Cahaya matahari yang memberkatinya..
Hujan sebagai asupannya.. dan
Tanah yang menjadi tempat bersandarnya..

Ya, ini tentang sekuntum Mawar..

Mawar yang indah, setiap orang yang melihatnya kagum akan keindahannya dan berusaha ingin memetiknya.

Ya, ada beberapa orang yang sudah memetiknya.
Tapi, sayangnya ketika mereka tahu bahwa mawar yang indah itu memiliki duri, dan mungkin bisa melukai mereka. Mereka memilih menghindarinya.

Aneh, memang apa salahnya jika terkena duri tersebut ? Mawar itu sederhana. Dia tidak meminta lebih. Kau bisa untuk menggenggamnya lebih lama dan menikmati segala keindahan rupanya yg merah merona, harumnya yang semerbak, keistimewaannya ketika dia berkumpul satu sama lain,

Asalkan kau tahu caranya,

Bisa saja..

Kalau kau menyentuhnya tepat di bagian Mawar tersebut yang tidak berduri,
Dengan waspada dan berhati-hati. Sekalipun kau terkena durinya dan terluka, masih ada plester luka yang bisa mengobati jarimu. 

Yah, selalu ada caranya asalkan benar-benar berusaha untuk memilikinya sepenuh hati.

Yah.. itulah Rosa Santana, tanaman semak merambat yang tumbuh berkembang, menghasilkan limpahan bunga berwarna kemerahan dan mekar dari musim panas ke musim dingin.

...

...

...

Sudut pandang Tanah,

Mawar yang indah,

Tanah sering disepelekan,
Tanah sering diinjak, tanah bisa saja mengubur harapan mawar untuk berkembang.

Tapi, cahaya matahari selalu memberkati dengan harapan,
hujan selalu menjadi asupan,
sehingga tanah subur.

Berkat semua itu tanah sadar, harus dan pasti bisa membuat mawar merambat lebih tinggi.

Yah, sekalipun mawar itu kapanpun bebas dicabut dari tubuhnya, oleh seseorang yang benar-benar tahu cara menggenggamnya,

dan takkan melepaskannya walaupun terluka.

Tanah harusnya tetap merasa senang,

Karena setidaknya dalam hidupnya,
Tanah bisa membuat Mawar itu tumbuh dan berkembang.

...

....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Langit Pt. II

30 Oktober

Masakini